INDONESIA terkejut, rasanya kata-kata itu cukup tepat menggambarkan bagaimana aksi heroik anggota KPK ketika berhasil menangkap Akil Mukhtar. Ketua Mahkamah Konstitusi ini tertangkap tangan melakukan salah satu tindakan yang masuk kategori tindak pidana korupsi. Tanpa butuh waktu lama, media elektronik dari televisi hingga internet santer mengabarkan berita ini. Mereka berburu dan berlomba-lomba menuliskan judul yang menarik dan saat itu pula Indonesia terkejut.
Awan tebalpun menyelimuti penegakan hukum di Indonesia. Kecurigaan dan ketidakpercayaan yang tumbuh bahkan semakin besar. Wibawa hukum kemudian lenyap dan yang ada adalah ikrar hukum bagai mata pisau dapur. Hukum yang tumpul keatas dan tajam menukik ke bawah. Tidak sedikit pula yang kemudian mengatakan UUD itu tidak lain singkatan dari ujung-ujungny adalah duit.
Pertanyaan yang kemudian hadir dan menyentil telinga kita adalah, kemana lagi keadilan harus dicari, sementara Mahkamah yang tinggi itu saja korupsi?. Rakyat bingung, hingar bingar antara kabar bahagia dan duka saling beriiringan. Yang bahagia tentu adalah apresiasi tertinggi kepada KPK karena berhasil mengungkap kasus korupsi di tubuh MK. Sementara kabar dukanya, selama ini, setelah berpuluh-puluh tahun kesucian menyelimuti MK ternyata gedung keadilan itu akhirnya runtuh juga.
Dalam salah satu acara televisi disebutkan, inilah akibat dari terlalu besarnya pengaruh politik di Indonesia. Sehingga semua jabatan yang harusnya independen terpengaruh dan cenderung memihak. Sementara lainya beranggapan ini adalah faktor dari apa yang Hayek katakan dengan “fetisisme uang”. Dimana uang dianggap seperti Tuhan, uang adalah penganggkat martabat dan masyarakat dihargai karena semua sepakat akan paham materialism.
Hal itu sah-sah saja, selagi masih berada pada tataran opini, karena untuk mencapai yang haqiqiyah harus diawali keinginan ber wahniyah (hipotesis). Dua hari ini berita mengenai itu diputar berulang-ulang di seluruh televisi nasional. Semakin banyak juga opini-opini yang berserakan. Akan tetapi tidak ada satupun yang kemudian merasa optimis, semua pesimis, semua menaruh muka sinis dan akhirnya rakyatlah yang kemudian bimbang.
Kita tentu ingat, bagaimana tahun 1998, tahun Reformasi yang berdarah-darah dan akhirnya memunculkan Demokrasi. Tahun itu hanya menjadi tahun kenangan, bukan tahun perjuangan lanjutan. Apa pasal, karena bukan hal-hal yang baik yang terjadi akan tetapi justru semakin besar tingkat korupsi. Tetapi mengapa itu sama sekali tidak pernah menjadi pembahasan, sesuatu yang terjadi saat ini adalah buah dari perjuangan yang lalu. Artinya ada komunikasi yang terputus antara rencana perubahan dan pemikiran manusia Indonesia.
Gus Mus dalam suatu kesempatan pernah mengatakan bahwasanya Reformasi ini tidak akan berjalan baik selama kepala-kepala masyarakat Indonesia tidak dirubah. Artinya apa, Indonesia tidak memaknai Reformasi sebagai suatu wacana perubahan sikap akan tetapi hanya sebatas sistem. Selain itu, Reformasi yang dulu diikuti oleh jutaan masyarakat Indonesia adalah suatu ritual latah. Dimana hanya ikut-ikutan dan tidak dibarengi dengan tanggung jawab. Mereka menolak rezim korup tetapi sebagian beraksi sembari menjarah. Akhirnya Reformasi hanyalah cerita yang membungkus buku sejarah saja.
Kita juga kemudian dipertontonkan dengan munculnya beberapa stiker yang sifatnya lebih kepada pembelaan. Gambar seorang kakek tua yang kemudian kita kenal bernama Soeharto sedang melambai tangan. Di bawahnya atau di sela-sela kepalanya tertulis “pie enak jamanku kan le”, tidak sedikit bahkan banyak yang kemudian rindu dan mengamini kata-kata itu. Artinya semangat Reformasi menjadi nol ketika kita harus tunduk pada kenyataan bahwa rezim yang kita jatuhkan dirindukan banyak orang.
Tragedi dan momentum kerinduan itu kemudian menemukan klimaksnya rabu malam. Ketika salah satu Ketua MK tertangkap dan digelanggang menuju kantor KPK, tidak sendiri tetapi bersama satu anggota DPR dan seorang pengusaha. Yang dibicarakan entah apa dan bagaimana yang jelas opini masyarakat telah sepakat bahwa itu korupsi. Tindakan yang bagi sebagian orang dianggap mengerikan dan tidak ber prikemanusiaan.
Dengan kejadian ini, benar rasanya apa yang dikatakan oleh Syeid Naqueb Al-Attas dalam teori besarnya yang bernama ta’dib. Dimana sebenar-benarnya ilmu pengetahuan adalah bertujuan untuk menciptakan manusia yang baik. Manusia yang baik itu menurutnya adalah manusia yang mampu menempatkan dirinya pada tempatnya. Dengan mampu menempatkan dirinya pada tempatnya maka dia sadar apa yang menjadi tugasnya dan tidak merugikan orang lain.***
*) Penulis adalah Anggota Komunitas Payung dan Diskursus Semarang, pendiri Komunitas diskusi DIALOG (Dialektika Logika) Cirebon dan Pengamat Hukum
